Thursday, May 25, 2017

Gembiranya Hari Itu

Diseret ke Pasuruan
Terik matahari menyengat kulit. Debu membuat keruh pemandangan. Jalanan ramai, padat dengan kendaraan; macet hingga berkilo-kilometer. Jalanan longgar penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi. Sungguh daerah yang keras!

Pada Selasa yang lalu saya interview di satu perusahaan di Pasuruan. Saya berangkat dari Batu pukul 05:00, namun rasanya saya dipaksa motor saya untuk ke pabrik di kota industri itu. Hati saya selalu mengatakan ingin pulang, namun tubuh terpaksa mematuhi jadwal hari itu. Hal ini sama dengan perasaan saya ketika pergi sendirian ke Gresik untuk interview. Rasanya saya tidak nyaman dengan semua itu. Suara di dalam hati saya selalu memanggil saya untuk pulang dan berkarya secara bebas.

Mengapa setiapkali saya tes kerja perasaan ini selalu muncul? Akhir-akhir ini saya mencoba menjawab pertanyaan ini. Mungkin memang saya tidak ingin “ikut orang” dan bekerja secara terjadwal dan rutin hampir setiap hari. Alasan lainnya mungkin saya tidak nyaman dengan pakaian yang saya kenakan. Jujur saja ketika berpakaian rapi menuju tempat perusahaan, saya melihat orang-orang lain yang memakai pakaian casual; mereka yang berada di dalam mobil sambil mendengarkan musik dan santai, mereka yang berjualan di toko kelontong, dan mereka yang sedang pergi piknik dan rekreasi di saat saya pergi wawancara. Lalu saya teringat mas Nanang, tetangga saya yang berwirausaha. Betapa bahagianya orang-orang yang dapat menentukan ritme hidup dan agendanya sendiri secara bebas, demikian pikir saya. Saya iri dengan mereka semua. Tapi saya tetap melanjutkan perjalanan karena badan saya mendominasi pada hari itu. Saya sampai di tempat interview.

Obrolan Tentang Kebebasan
Wirausahawan itu orang yang berbahagia. Mengapa kita hidup? Mengapa kita bersusah-payah mengikuti tes masuk kerja di perusahaan untuk menjadi karyawan outsourcing atau PKWT? Mengapa kita bekerja menukarkan waktu dan tenaga untuk upah yang sama terus? Beberapa orang memang beruntung di BUMN dan instasi pemerintah sebagai PNS. Lalu sisanya (sebagian besar orang) apakah bisa disebut sebagai orang-orang yang tak terpilih? Tentu tidak. Beberapa memilih berwirausaha atau berkarya dengan bakat dan antusiasme tinggi mereka pada bidang tertentu.

Saya mengobrol dengan para pelamar lainnya. Mereka setuju bahwa jaman sekarang memang sulitnya bukan main kalau mencari pekerjaan. Beberapa yang telah berpengalaman bekerja di bank mengatakan bahwa pekerjaan mereka tidak “barokah”. Mereka juga menceritakan bagaimana bank itu bermain-main dengan uang nasabah mereka. Pekerjaan di bank memang menghasilkan uang yang lumayan cukup, namun tidak menjadi berkah apabila diteruskan. Kami lalu berbincang tentang wiraswasta. Kami semua setuju, bahwa ini ialah jalan terbaik yang dapat kami lakukan. Wirausaha yang baik cenderung sehat tanpa memeras dan mempermainkan kepunyaan orang lain, dan lebih “barokah”, dan yang paling penting, tidak pernah akan dituntut untuk “begini” dan “begitu”, melainkan bebas menentukan jam kerja dan liburan. Wirausaha memang jauh lebih menggembirakan, apalagi jika pada bidang yang kita ahli dan kita sukai.  Betapa bahagianya para enterpreneur!!!


Hari yang Menggembirakan
Mungkin semakin saya memaksakan diri, semakin saya sadar bahwa Tuhan memanggil saya untuk berhenti mengejar semua ini dan kembali untuk sesuatu yang lebih berarti.

Hari itu adalah hari menggembirakan karena saya bertemu orang-orang baru; hal ini menambah relasi saya. Tesnya berjalan lancar dan saya berhasil membuat puas HRDnya (hari berikutnya gantian user menjadi tidak puas, haha). Sepulang tes, saya dan dua orang lainnya berbincang-bincang sebentar di sebuah warung. Setelah itu saya kembali ke Malang (melewati kemacetan berkilo-kilometer jauhnya dengan terik matahari dan debu-debu berterbangan, serta kerikil jalanan rusak). Setelah itu saya mampir di rumah Oni. Senang rasanya bisa bertemu lagi dengan teman saya karena selama berminggu-minggu saya tidak menjumpai satupun teman kuliah dan ini membuat saya seperti terisolasi. Oni dan saya memiliki gagasan yang sama tentang kondisi memprihatinkan dunia ini. Perjumpaan dengannya selalu memberikan saya semangat baru.

Dalam perjalanan pulang, saya melamun dan merenung, mencoba memahami hal-hal yang terus mengusik hati saya.


Sekarang saya menyimpulkan bahwa saya sangat ingin berkarya secara mandiri dan bebas. Saya tidak ingin terikat. Saya ingin dekat dengan keluarga dan teman-teman saya. Dekat yang saya maksudkan ialah dekat secara ruang atau waktu. Saya ingin hidup sepenuhnya. Kehidupan yang sederhana namun penuh berkah seperti mas Nanang tetangga saya, itulah yang ingin saya tuju sekarang ini. 

Wednesday, May 10, 2017

Guru Yang Buruk

Selasa, 9 Mei 2017


Sore ini saya menyesal meniinggalkan murid saya. Senin kemarin adalah hari yang panjang dan penuh pergolakan batin sehingga saya lupa tanggungjawab. Murid saya sudah hampir satu bulan ini tidak les dan tidak menghubungi saya. Jadi, saya bersikap pasif dan tidak menanyakan apapun. Namun, siang ini ketika saya tidak di Malang ia menghubungi saya dan perlu les untuk persiapan UAS besok. Saya bingung dan akhirnya meminta bantuan tentor lain yang di Malang. Namun, ketika saya berkata bahwa akan digantikan tentor lain, murid saya mengatakan tidak apa-apa tidak les. Hal ini membuat saya merasa bersalah dan berdosa karena telah meninggalkan tanggungjawab. Perasaan ini melengkapi rasa bersalah yang lebih besar, yakni ketika saya mengajukan pengunduran diri dari tes mengajar yang dilaksanakan besok di SMAK Santa Maria Malang. Saya benar-benar mengacaukan banyak hal dan sangat bersedih karenanya. Memang pada akhirnya ada sesuatu yang dikorbankan. Jikalau saya besok melakukan microteaching, saya mungkin akan mengorbankan suara hati. Untuk pengunduran diri ini, rasa bersalah dan berdosa ialah konsekuensinya, karena saya mengorbankan support budhe saya, keluarga, dan pihak sekolah.

I messed up , again, big time!



Lesu

Senin, 8 Mei 2017

Selama sehari ini saya lesu karena belum bisa memutuskan tentang apakah saya membatalkan tes microteaching itu. Keputusan menjadi pasti di penghujung hari; yang menjadi perubah suasana bagi semua orang. Sebelumnya, saya murung terus dan lesu karena memikirkan hari lusa. Pikiran terbebani terus hingga segala aktivitaspun terasa menyedihkan karena mengingat tes itu. Bukan uji kemampuan yang membuat gentar, namun ketidakcocokan atau kurangnya minat pada mengajar sehingga membuat suatu perasaan terpaksa dalam diri saya. Tidak bisa mengambil keputusan, akhirnya teman-teman dekat menjadi korban si labil ini. Saya sungguh malu sebenarnya karena seharusnya di usia ini sudah tidak lagi bingung akan situasi sulit. Teman-teman lalu memberikan balasan yang meredakan kekacauan pikiran dan menenangkan hati. Sayapun merenungkan semuanya dan menyendiri untuk mendapatkan keputusan. Akhirnya setelah sehari penuh dengan kelesuan, saya memutuskan untuk mengikuti suara hati. “Daripada saya menjalani setengah-setengah sebagai pengajar, lebih baik saya mundur sebelum bergabung,” demikian pikir saya. Namun, suasana menjadi berubah. Sekarang ibu saya menjadi lesu, lalu melihat dari perkataan di Whatsapp, budhe juga sepertinya kecewa pada saya. Lalu, pihak sekolah juga pasti akan sangat kecewa pula. Setelah mengungkapkan keputusan saya ini, ada suatu kelegaan besar. Namun di sisi lain, saya juga bersedih karena ibu dan budhe kecewa. Saya juga turut merasa kasihan pada sekolah yang telah memberi kesempatan. Namun, apabila saya tetap maju mengikuti tes, saya tidak bahagia dan terbebani, serta merasa terpaksa. Akan merugikan orang lain apabila saya tidak sepenuh hati mengajar, terutama murid-murid.


Hari-hari ini memang penuh pergolakan batin. Saya bahkan merasa malu tidak bisa menyikapinya. Bagaimanakah orang seperti saya dapat hidup? Rasa pesimis ini rupanya terus menghantui diri saya. Bagaimanakah pertanyaan ini dapat terjawab? Mari lihat saja bagaimana kedepannya.