Diseret ke Pasuruan
Terik matahari menyengat kulit. Debu membuat
keruh pemandangan. Jalanan ramai, padat dengan kendaraan; macet hingga
berkilo-kilometer. Jalanan longgar penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi.
Sungguh daerah yang keras!
Pada Selasa yang lalu
saya interview di satu perusahaan di Pasuruan. Saya berangkat dari Batu pukul
05:00, namun rasanya saya dipaksa motor saya untuk ke pabrik di kota industri
itu. Hati saya selalu mengatakan ingin pulang, namun tubuh terpaksa mematuhi
jadwal hari itu. Hal ini sama dengan perasaan saya ketika pergi sendirian ke
Gresik untuk interview. Rasanya saya tidak nyaman dengan semua itu. Suara di
dalam hati saya selalu memanggil saya untuk pulang dan berkarya secara bebas.
Mengapa setiapkali
saya tes kerja perasaan ini selalu muncul? Akhir-akhir ini saya mencoba
menjawab pertanyaan ini. Mungkin memang saya tidak ingin “ikut orang” dan
bekerja secara terjadwal dan rutin hampir setiap hari. Alasan lainnya mungkin
saya tidak nyaman dengan pakaian yang saya kenakan. Jujur saja ketika
berpakaian rapi menuju tempat perusahaan, saya melihat orang-orang lain yang
memakai pakaian casual; mereka yang berada di dalam mobil sambil
mendengarkan musik dan santai, mereka yang berjualan di toko kelontong, dan
mereka yang sedang pergi piknik dan rekreasi di saat saya pergi wawancara. Lalu
saya teringat mas Nanang, tetangga saya yang berwirausaha. Betapa bahagianya
orang-orang yang dapat menentukan ritme hidup dan agendanya sendiri secara
bebas, demikian pikir saya. Saya iri dengan mereka semua. Tapi saya tetap
melanjutkan perjalanan karena badan saya mendominasi pada hari itu. Saya sampai
di tempat interview.
Obrolan Tentang
Kebebasan
Wirausahawan itu orang yang berbahagia. Mengapa
kita hidup? Mengapa kita bersusah-payah mengikuti tes masuk kerja di perusahaan
untuk menjadi karyawan outsourcing atau PKWT? Mengapa kita bekerja menukarkan
waktu dan tenaga untuk upah yang sama terus? Beberapa orang memang beruntung di
BUMN dan instasi pemerintah sebagai PNS. Lalu sisanya (sebagian besar orang)
apakah bisa disebut sebagai orang-orang yang tak terpilih? Tentu tidak.
Beberapa memilih berwirausaha atau berkarya dengan bakat dan antusiasme tinggi
mereka pada bidang tertentu.
Saya mengobrol dengan
para pelamar lainnya. Mereka setuju bahwa jaman sekarang memang sulitnya bukan
main kalau mencari pekerjaan. Beberapa yang telah berpengalaman bekerja di bank
mengatakan bahwa pekerjaan mereka tidak “barokah”. Mereka juga menceritakan
bagaimana bank itu bermain-main dengan uang nasabah mereka. Pekerjaan di bank
memang menghasilkan uang yang lumayan cukup, namun tidak menjadi berkah apabila
diteruskan. Kami lalu berbincang tentang wiraswasta. Kami semua setuju, bahwa
ini ialah jalan terbaik yang dapat kami lakukan. Wirausaha yang baik cenderung
sehat tanpa memeras dan mempermainkan kepunyaan orang lain, dan lebih “barokah”,
dan yang paling penting, tidak pernah akan dituntut untuk “begini” dan “begitu”,
melainkan bebas menentukan jam kerja dan liburan. Wirausaha memang jauh lebih
menggembirakan, apalagi jika pada bidang yang kita ahli dan kita sukai. Betapa bahagianya para enterpreneur!!!
Hari yang
Menggembirakan
Mungkin semakin saya memaksakan diri, semakin
saya sadar bahwa Tuhan memanggil saya untuk berhenti mengejar semua ini dan
kembali untuk sesuatu yang lebih berarti.
Hari itu adalah hari
menggembirakan karena saya bertemu orang-orang baru; hal ini menambah relasi
saya. Tesnya berjalan lancar dan saya berhasil membuat puas HRDnya (hari
berikutnya gantian user menjadi tidak puas, haha). Sepulang tes, saya dan dua
orang lainnya berbincang-bincang sebentar di sebuah warung. Setelah itu saya
kembali ke Malang (melewati kemacetan berkilo-kilometer jauhnya dengan terik
matahari dan debu-debu berterbangan, serta kerikil jalanan rusak). Setelah itu
saya mampir di rumah Oni. Senang rasanya bisa bertemu lagi dengan teman saya
karena selama berminggu-minggu saya tidak menjumpai satupun teman kuliah dan
ini membuat saya seperti terisolasi. Oni dan saya memiliki gagasan yang sama
tentang kondisi memprihatinkan dunia ini. Perjumpaan dengannya selalu
memberikan saya semangat baru.
Dalam perjalanan
pulang, saya melamun dan merenung, mencoba memahami hal-hal yang terus mengusik
hati saya.
Sekarang saya
menyimpulkan bahwa saya sangat ingin berkarya secara mandiri dan bebas. Saya
tidak ingin terikat. Saya ingin dekat dengan keluarga dan teman-teman saya.
Dekat yang saya maksudkan ialah dekat secara ruang atau waktu. Saya ingin hidup
sepenuhnya. Kehidupan yang sederhana namun penuh berkah seperti mas Nanang
tetangga saya, itulah yang ingin saya tuju sekarang ini.
No comments:
Post a Comment