Thursday, August 17, 2017

Have I Lost The Light


Sore ini saya membuka kumpulan musik yang seringkali saya dengarkan semasa kuliah dulu. Dulu, musik-musik itu terasa seperti background music kehidupan saya sehari-hari. Hati saya dipenuhi dengan gejolak dan impian besar tentang suatu kecemerlangan di masa depan; musik latar belakang yang mengiringi kegiatan sehari-hari yang saya anggap sebagai sebuah proses dan perjuangan menuju kecemerlangan itu. Dan seperti layaknya film, selalu ada musik yang tepat untuk setiap suasana.

Seperti ketika merasa sebagai underdog yang dipenuhi dengan impian-impian, lagu Viva la Vida dengan megah mengiringi suasana itu. Lalu, sebagai contoh lain ketika sedang merasa bebas dan kokoh seperti burung rajawali, lagu The Killers, Human menjadi latar yang tepat. Kemudian, seiring bertambahnya waktu, referensi musik latar belakang saya bertambah; saya banyak mendapatkannya dari film-film, dari teman-teman, dan dari penjelajahan di internet yang juga terkadang menambah musik-musik yang menurut saya bagus dan berkesan. Saya juga lebih mengenal musik klasik, yang rupanya sangat memikat hati dan saya jadikan musik latar, seperti Ode to Joy,  yang selalu terasa seperti bergema merdu megah dan syahdu tiapkali hati saya gembira dan dipenuhi dengan harapan serta impian.

Saya tidak begitu perhatian apa yang dikatakan orang sebagai musik berkualitas, karena berbagai genre dapat menjadi background di setiap scene perjalanan hidup saya. Bahkan, lagu campursaripun juga masuk dalam montase itu.


Dulu, jiwa saya penuh dengan gejolak dan impian, serta ambisi besar yang terasa seperti gumpalan cahaya di dalam dada, yang sorot-sorotnya mendesak keluar lewat celah-celah yang ada. Atau, terkadang kepala saya terasa seperti kembang api; ingin meledak dan menghasilkan dentuman keras serta rentetan pemandangan warna-warni di langit. Dan ketika hati mendengungkan suara kebebasan, jiwa saya melonjak dan tubuh terasa ringan, seolah-olah ingin membumbung tinggi di angkasa.


Waktu berlalu dan saya menyadari bahwa kini, cahaya itu tidak pernah saya sadari lagi kehadirannya. Apakah saya telah kehilangan impian ? Tidak juga, karena jauh di lubuk hati masih terdapat harapan untuk kecemerlangan hidup. Saya mengakui, kekhawatiran merubah beberapa hal dalam hidup saya. Saya bermimpi tentang kebebasan dan kecemerlangan, namun karena kekhawatiran akan masa depan, di sisi lain hati saya menginginkan pekerjaan tetap dan terjamin (sebagai PNS). Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mencurahkan sebagian besar waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas dan tanggungjawab profesi. Energi positif dan gejolak serta gelora akan kebebasan itu seolah-olah terasa menciut dan redup, terutama setelah lulus dan mendapati kenyataan hidup; bagaimana sulitnya mencari pekerjaan dan (sekarang) susahnya mencari uang (bekerja). Saya juga mengakui bahwa saya tidak kunjung bangkit mengambil sebuah langkah baru yang mengarah kepada impian-impian akan kecemerlangan itu. Namun untuk sementara ini, saya pikir cara terbaik ialah “menanam” sesuatu, melakukan percobaan-percobaan kecil yang insyaallah dapat mengantarkan saya pada kebebasan dan kehidupan cemerlang yang dirindukan jiwa ini sejak lama.

Sunday, August 6, 2017

(Mungkin) Bisa Menjadi Seperti Udang Sentadu

Terkadang saya berpikir apakah saya ini tidak bersyukur sudah memiliki pekerjaan. Mengapa kok selalu mengeluh. Namun, saya concern karena memang keadaan ini merugikan orang-orang di sekitar saya, terutama rekan-rekan kerja, orang-orang baik yang menerima saya menjadi bagian hidup mereka. Mereka semua perempuan, dan saya sungguh merasa iba melihat rekan yang rumahnya jauh dan harus ngekost. Dengan pekerjaan yang demikian banyak, apakah sesuai dengan pengeluarannya sebagai anak kost? Perasaan iba yang lebih besar tertuju pada rekan senior yang sudah mengabdi sejak lama, sementara mereka dipindahtugaskan lagi di lapangan; sebuah cara halus korporat untuk menghemat biaya pengeluaran gaji karyawan, sebab, yang tidak mengikuti sistem baru akan dikeluarkan / harus resign dan perusahaan tak akan perlu untuk memberi pesangon. Terlebih dengan mengganti mereka dengan karyawan outsourcing, maka perusahaan tak perlu mengalokasikan dana untuk gaji pensiun karyawan. Sungguh sebuah langkah yang pintar bukan? 

Lalu sebagai karyawan outsourcing, untuk masalah kesejahteraan tak perlu dipertanyakan lagi. Masalah pekerjaanpun juga demikian. Orang-orang didaerah saya menyebutnya "diporsir" atau diperas, diminta bekerja secara maksimal, diberi pekerjaan dan tanggungjawab banyak sementara mereka tidak mau ambil pusing tentang bagaimana kami harus menyelesaikannya. Mereka orang besar.

Lalu , sebagai orang kecil apakah saya dan rekan-rekan harus tertindas terus? Mungkin tidak. Saya mengambil perumpaan udang sentadu. Binatang laut ini sangat kecil, tak lebih besar dari telapak tangan orang dewasa. Hidupnya di karang-karang atau di di dasar laut. Namun meskipun ukurannya kecil, ia tidak bisa diganggu ataupun ditindas binatang lain, bahkan yang ukurannya jauh lebih besar. Udang sentadu memiliki semacam "tinju" yang keras, yang ia gunakan untuk mencari makan dan mengusir binatang lain yang hendak memangsanya. Gurita besarpun mundur apabila terkena pukulannya. Jadi meskipun kecil, namun oleh karena Sang Pencipta menganugerahinya "tinju" itu, udang sentadu tidak dapat ditindas maupun diganggu. 


Kami mungkin bisa seperti udang sentadu itu. Hidup memang seperti ekosistem bawah laut. Makhluk-makhluk besar dan kecil berada di satu tempat, sehingga yang kecil cenderung terancam. Kehidupan mungkin dapat diumpakan demikian. Orang besar dan kecil hidup berdampingan dan yang kecil cenderung ditindas dan dimanfaatkan. Namun, mungkin orang-orang kecil dapat menyikapi kehidupan dengan menjadi seperti udang sentadu. Biota kecil nan tangguh ini dianugerahi "Tuhan" dengan "tinju" hebat yang dapat mengejutkan lawan dan penindasnya. Menurut saya, kita manusia, makhluk yang paling Tuhan cintai, dianugerahi sesuatu yang lebih hebat daripada tinju udang sentadu, yaitu "akal". Saya dan rekan-rekan saya mungkin dapat menjadi seperti udang sentadu. Kami dapat menyikapi keadaan ini dengan "mengakalinya" dengan segala cara yang dapat dipikirkan. 


Perubahan Sistem Kerja

Pada minggu ini, peraturan di tempat kerja berubah. Karyawan masuk mulai jam 10, lebih siang daripada biasanya. Namun, dengan perubahan ini maka gaji lemburpun tidak ada, meskipun pulang larut malam. Atau, jika ada , gaji lembur akan sangat sedikit dan itupun mungkin hanya terjadi di akhir bulan, dimana selalu terdapat pekerjaan lebih dari biasanya. Hal ini tidak masalah bagi saya pada awalnya, karena mengetahui jam kerja yang lebih siang, maka saya dapat melakukan banyak hal lain di rumah. Namun, kenyataannya berbeda. Biasanya dengan masuk pagi, kami dapat menangani berkas-berkas di hari kemarin dan mengecek dokumen-dokumen untuk transaksi di waktu mendatang. Setelah sistem baru ini diterapkan, kami tak ada lagi waktu untuk hal itu, padahal jika tidak menyelesaikannya, kami sendiri yang akan “keteteran” dan salah, terutama sebab karena itu ialah kewajiban kami. Untuk mengatasi hal ini, saya terpaksa membawa pekerjaan ke rumah untuk melakukan koreksi dan menata dokumen-dokumen transaksi. Hal serupa nampaknya juga dilakukan oleh rekan kerja saya, karena memang sudah tidak ada waktu lagi di kantor untuk melakukannya.

Ini menjadi satu hal besar yang seringkali memenuhi pikiran saya. Jam kerja dikurangi, namun pekerjaan tetap dan bahkan bertambah banyak. Tidak mendapat lemburan namun tetap bekerja meskipun sudah di rumah. Mengatasi hal ini, saya mencoba untuk berpikir positif dengan membaca cerita pekerja-pekerja di ibukota yang mengalami hal serupa, atau mendengar cerita teman, sanak-saudara dan tetangga tentang kesulitan mereka di tempat kerja. Hal ini cukup membantu, karena membuat saya merasa tidak sendirian. Namun, tetap saja, ada semacam perasaan tertindas oleh korporat dan sistem yang dibuatnya. Ditambah, sehari-hari saya memiliki angan-angan untuk berwirausaha dan menjalani hidup yang bebas (tidak ikut orang/ perusahaan) serta simpel. Atau, menjadi seorang pegawai negeri sipil. Dua hal diatas menurut saya ialah solusi atas kegelisahan selama ini. (Dulu padahal saya memiliki mimpi menjadi orang besar dan terkenal, namun rupanya yang saya idamkan kini ialah kemapanan sebagai PNS atau wirausahawan yang sukses. Sungguh ironis memang; hahaha). Nah maka dari itulah saya merasa  “diakali” oleh korporat. Saya tahu satu hal yang menjadi tujuan para korporat ialah hasil maksimal (kerja bagus dari karyawan dan profit besar) dengan pengeluaran minimal (pengeluaran untuk gaji karyawan sedikit). Sungguh pintar mereka itu. Dengan sistem baru ini maka mereka tak pelu membayar meskipun karyawan pulang larut, namun tetap mendapatkan hasil maksimal karena karyawan tetap (terpaksa) bekerja di luar jam kerja kantor (mengerjakan di rumah). Merekapun tak ambil pusing soal masa depan karyawan. Mereka orang besar. Nah, bagaimana dengan saya? Saya pusing dan lemas tiapkali melihat tumpukan-tumpukan berkas itu. Namun saya berusaha maksimal hingga memohon dalam doa supaya Tuhan membantu saya dalam menyelesaikan tanggungjawab-tanggungjawab itu. Demikianlah hari demi hari saya berusaha sampai “mentok”, hingga mata kedutan karena saking lelahnya dan kepala pusing bukan kepalang.

Pencerahan

Akhir pekan ini, terutama hari ini, sebuah pencerahan datang. Dalam lamunan saya berkata dalam hati;

Ohya, kenapa sih saya mau berpikir pusing-pusing dan diakali terus. Bukankah selain kewajiban saya juga punya hak?” Mengapakah saya takut akan peraturan dan penghakiman manusia? Bukankah seharusnya saya hanya takut akan penghakiman dari Tuhan?”

Sungguh, hai kawan, ketika cobaan terasa berat, bersandar pada Tuhan atau memunculkan perasaan tunduk dan takut akan Tuhan ialah jawaban dan satu-satunya jalan terbaik.

Mengapakah saya berusaha hingga menguras seluruh tenaga saya untuk sesuatu yang bersifat duniawi? Bukankah saya seharusnya mengejar hal-hal surgawi dan berusaha untuk hidup berkenan bagi Allah?Tuhan telah menunjukkan bahwa Ia memelihara saya dan keluarga saya, jadi seharusnya saya tak perlu khawatir akan apapun yang terjadi kedepannya.

Kata-kata diatas sungguh menghibur dan melegakan. Namun, meskipun berasal dari dalam hati saya sendiri (bukan nasehat orang), tidak mudah untuk melakukan seperti yang hati saya katakan tersebut. Seringkali ketika kesulitan datang , hati saya mudah gentar dan pikiran kacau dengan mudahnya. Jadi untuk saat ini, saya akan bekerja seperti biasanya, namun saya akan kembali memperhatikan diri saya sendiri dan mengerjakan sebisa saya sesuai dengan waktu yang diberikan oleh perusahaan di kantor.