Friday, April 22, 2016

Dua Pihak

Ada dua pihak dalam hidup bapak saya, pihak 1 adalah saduara-saudarinya, sedangkan pihak kedua adalah tetangga-tetangga. Selama beberapa tahun terakhir saya secara pasif selalu mengetahui hubungan keduanya dan pendapat mereka tentang bapak saya. Pihak 1 berpendapat bahwa mereka kasihan kepada bapak dan mencoba membantunya dalam beberapa urusan penting, namun menurut mereka bapak selalu bersikap kaku dan tidak bisa diarahkan, misalnya dalam diskusi tentang sapi dan sawah. Maka, hubungan bapak dengan saudara-saudaranya tidak begitu baik. Pun demikian, bapak menjalin hubungan baik dengan semua sanak saudara lain (selain saudara kandungnya), bahkan dengan saudara-saudari di luar desa, di Singosari, Karangploso, dan Tulungagung. Menurut bapak saya, saudara-saudarinya itu terlalu mengaturnya; yang paling bapak sesalkan adalah tentang nasihat untuk tidak menjual warisan untuk membiayai saya kuliah dan sekolah adik. 
Berlawanan dengan pendapat saudara dan saudari kandung bapak saya, tetangga-tetangga yang dalam keseharian sering bekerja dan bercengkrama dengan bapak saya menilai saudara-saudari itu meninggalkan bapak saya. Pendapat ini mungkin didasari pengalaman mereka sehari-hari melihat bapak yang tidak pernah dikunjungi saudaranya lagi. Selain itu, tetangga-tetangga bapak berpendapat kurang begitu baik tentang paman saya Sirsan. Menurut cerita-cerita orang desa, paman Sirsan memang orang yang keras karena pangkatnya di masyarakat. Maka, jarang sekali ada orang mau bermasalah dengannya. Orang-orang cenderung tidak berinteraksi dengan paman. 
Jadi sebagai pihak netral, kadang saya mendapati cerita yang kurang baik tentang pihak 2 dari pihak 1. Segelintir orang dari pihak 2 kadang juga membicarakan hal serupa. Namun terlepas dari hal ini, saya senang kedua belah pihak bekerjasama membantu kami, dengan bapak saya yang tidak berdaya itu akhirnya diberi semacam "intervention" oleh saudara-saudarinya. Dalam musibah ini kedua pihak sesekali berinteraksi, namun saya masih mendengar cerita-cerita yang kurang baik dari satu pihak ke pihak lainnya. Ah, biarlah, memang kita manusia tidak sempurna. Saya ambil hal positifnya saja.

Intervention

Sejak pertamakali sampai di rumah, orang-orang selalu mengunjungi kami sekedar untuk menjenguk dan hanya memeriksa keadaan bapak. Kalau menjenguk, mungkin biasanya orang hanya akan datang sekali saja, namun di desa ini, orang-orang berdatangan terus-menerus.
Dulu, saya akrab dengan semua orang di desa sebelum masuk asrama di SMA. Sekarang, karena sudah lama tidak “srawung” atau menjaga komunikasi; silaturahmi saya dengan orang-orang khususnya tetangga-tetangga dan saudara-saudara kurang begitu baik. Maka, kemarin malam paman saya memanggil saya kerumahnya dan membicarakan beberapa hal terkait dengan hal tersebut -- semacam intervention dalam How I Met Your Mother. Jadi paman saya blak-blakan dan saya mengakui bahwa selama ini saya tidak sadar akan hal-hal ini.
Maka, setelah saya sehat 100%, saya akan “srawung” ke semua saudara-saudara dan orang-orang di desa. Kemarin saya sudah memulainya ke yang dekat-dekat saja, dan juga demikian pagi ini. Mungkin hari-hari kedepan hidup saya kembali ramai seperti dulu; harapannya begitu.

Paman Sirsan

Paman Sirsan yang memanggil saya kemarin, selain memberi “intervention” itu, di sisi lain juga seperti menyindir saya. Ia menelepon seorang temannya di sela-sela pembicaraan kami dan menjelaskan kepada temannya dengan suara jelas bahwa ia adalah yang membantu biaya perawatan rumah sakit bapak saya, sambil menyebut nominal yang ia berikan kepada keluarga kami. Yang saya sedikit kecewakan adalah bahwa ia tidak menyebut nominal yang tepat tentang biaya saya, yang sebenarnya adalah 9 juta namun sudah ditanggung Jasa Raharja, namun ia sebutkan 15 juta kepada temannya dan ia yang menanggung. Memang, keluarga saya berhutang pada keluarga paman dengan sawah sebagai penggantinya.
Mungkin hanya pikiran negatif diri sendiri. Jadi saya tidak memikirkan hal itu. Sekarang saya fokus untuk menjadi lebih baik untuk keluarga dan orang-orang di sekitar.

Tuesday, April 19, 2016

This is The Good That is in The Bad

Dalam keadaan tidak bisa banyak bergerak, saya banyak berpikir dan berdoa, serta merenung. Lalu saya menemukan gambar ini di internet:
Terbaring di ruang pasien bedah, saya baru menyadari betapa saya tidak bersyukur ketika saya sehat dan bisa beraktivitas, ketika saya normal; betapa saya kurang ramah kepada orang-orang, yang jarang saya sapa namun pada musibah ini berdatangan membantu dan menemani, dan menjenguk. Tetangga-tetangga di desa, sanak saudara, teman-teman, umat gereja, keluarga bapak kost saya dari Malang, dan semua orang yang seharusnya sering saya sapa dan ajak bicara, sungguh begitu baik. Meskipun saya jarang menyapa dan meskipun saya jarang berkunjung dan berbicara dengan mereka, semuanya malah datang menjenguk, dan bahkan menemani saya selama proses rawat inap itu.

Hari-hari yang banyak kejenuhan karena proses penanganan rs yang lama diisi juga dengan hal-hal baik yang menggembirakan, sehingga akhirnya pada hari kesembilan saya boleh pulang, namun harus bed rest total selama dua bulan demi penyembuhan total liver saya. Sungguh melegakan, saya keluar dari rumah sakit dan melihat dunia lagi. Pak Sis menjemput saya pada siang hari setelah semalam menjemput ayah dan ibu saya dari Solo. Saya menikmati perjalanan singkat dari Wlingi ke rumah, yang terasa sungguh luar bisa menggembirakan. It is good to be normal again. It is great to be healthy!

Sungguh besar anugerah dan  pertolongan Tuhan dalam musibah ini. Saya tidak akan melupakan jasa-jasa semua orang yang telah membantu keluarga saya, termasuk teman teman saya kuliah serta Oni dan Rendi yang membereskan barang-barang kost saya.

Terimakasih, semoga berkat Tuhan yang ajaib melimpah bagi semuanya!

Di Rumah Sakit

Saya diperbolehkan pulang pada sore harinya namun tidak jadi karena setelah diperiksa, dokter memutuskan untuk memasang saya kateter. Kala itu warna air seni saya bercampur darah sehingga keesokan harinya, saya di rontgen lagi ditambah usg, yang hasilnya mengharuskan saya untuk opname. Saya terkena hematom hepar, atau luka hasil benturan pada liver, sehingga pada kateter, air seni bercampur darah. Mengerikan. Saya sungguh lemas dan pesimis luar biasa pada waktu itu karena memikirkan skripsi yang belum selesai ditambah memikirkan ayah yang tak segera ditolong. Jadi di rumah sakit, hari ke hari saya terus mengamati kantong kateter dan melihat perkembangannya (yang sangat lama).

Di ruang pasien bedah itu, saya sungguh merasa tidak nyaman karena panasnya udara dan rasa jenuh karena tidak dapat banyak bergerak serta karena merasa (bahasa jawanya pliket) atau perasaan tidak nyaman karena tidak mandi dan tidak bisa tidur nyenyak. Selain itu, benda asing (kateter) itu disamping membuat risih, menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, pikiran dihantui dengan kekhawatiran akan keadaan ayah dan liver saya. It was very terrible! Saya tidak mampu menemukan kata lain untuk menjelaskan keadaan yang memilukan itu. Di ruang opname itu saya sungguh merasa kehilangan hidup saya, serta pilu karena merasa sungguh tidak berdaya disaat keluarga sangat membutuhkan tenaga saya. Namun saya beruntung memiliki tetangga-tetangga yang seperti saudara dan sanak saudara yang baik. Mereka semua juga turut 'repot' dalam musibah keluarga saya ini. Pak Sis (paman saya (suami adik ibu saya)) menguruskan jasa raharja, karena rs tidak menerima BPJS, sementara isterinya (bibi saya) menjaga saya di rs karena pada hari kedua, setelah berdiskusi dengan orang-orang terdekat keluarga kami, diputuskan bahwa ayah akan dibawa ke Solo karena di Wlingi tak kunjung ditangani. Demikianlah hari pertama dan kedua. Keluarga, tetangga, kawan, dan kenalan semuanya silih berganti memenuhi ruang opname saya dan bapak. Mereka menolong dengan cara dan kemampuan mereka masing-masing.

Hari-hari selanjutnya, ayah ditemani ibu selama di rawat di rumah sakit orthopedi di Solo, setelah diantar oleh mas Nanang, pak Sis, dan satu tetangga lain. Sementara itu, saya ditemani bibi (sesekali diganti oleh sanak dan saudara saya yang lain) selama opname di rs Wlingi.

Saya selalu berdoa untuk kesembuhan ayah dan syukurlah, Tuhan memberi keajaiban yang banyak dan besar untuk keluarga kami. Setelah pertolongan dari orang-orang, Tuhan menolong dengan membantu menormalkan kadar gula ayah saya dari 500 ke 138, menormalkan tensi dan kadar hb ayah sehingga setelah beberapa persiapan, ayah berhasil dioperasi (ternyata setelah di Solo, yang patah sebenarnya adalah tulang paha kanan, pergelangan tangan kanan, dan rahang kanan). Syukurlah operasi berjalan lancar dan ayah diperbolehkan pulang. Saya senang mendengar kabar-kabar baik yang datang. Mukjizat-mukjizat Tuhan (sekali lagi) secara nyata terjadi!

Kecelakaan

Dua minggu yang lalu, keluarga saya mengalami musibah. Saya dan ayah kecelakaan di daerah Kesamben, Blitar, ketika dalam perjalanan ke Singosari. Kala itu kami berangkat puku 4.00 pagi dan sampai daerah Kesamben pada sekitar pukul setengah lima. Saya tidak begitu ingat kejadian itu karena kalau mencoba mengingat kejadiannya, rasanya seperti mengingat kejadian dalam mimpi. Jadi, berdasarkan ingatan, waktu itu ketika melewati tikungan, sebuah mobil travel (elf) berwarna merah secara tiba-tiba muncul di depan kami dan berkecepatan tinggi, sehingga saya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Setelah itu, saya tidak ingat-apa-apa lagi. Mungkin saya pingsan, karena setelah beberapa saat saya bangun di rerumputan di dekat ayah saya yang berdarah kelihatan bingung. Pada saat itu, saya merasa seperti bangun dari tidur dan mendapati kejadian mengerikan itu. Saya tidak percaya bahwa itu nyata dan mencoba menampar pipi, namun ternyata memang saya tidak bermimpi. Darah keluar dari mulut ayah dan saya begitu panik bercampur bingung.
"Pak sampean nggak popo pak? Sampean kok metu getihe pak, dodone sampean nggak popo?  Wetenge sampean loro opo enggak pak?" (saya bertanya apakah bapak merasakan sakit di perut atau di dada, karena begitu panik melihat darah keluar dari mulut bapak)
Ayah menjawab "Nggak popo le, aku. Mung sikilku tok sing loro saiki." (bapak menjawab tidak apa-apa, hanya saja kakinya terasa sangat sakit)
Saya lega mendengarnya namun masih sangat panik.
"Awakdewe iki arepe neng endi to le?" (kita ini mau kemana to nak?)
Ayah tidak ingat apa-apa tentang kemana tujuan kami, dan sayapun tidak mengerti mengapa saya bisa sampai di tempat itu dan kemana gerangan saya dan ayah pergi di pagi buta itu. Setelah beberapa saat berapa orang mulai berhenti dan menghampiri kami. Mereka bertanya apakah kami jatuh sendiri dan bagaimana bisa kecelakaan seperti itu, namun saya tidak bisa menjawab karena tidak ingat apa-apa. Satu orang lain berkata "paling iki ditabrak elf, iki ono spion e" (mungkin ini ditabrak kendaraan elf, ini spionnya ketinggalan). Selanjutnya, beberapa polisi datang dan menanyai kami namun saya dan bapak masih tidak bisa memberi jawaban karena tidak ingat. Kami dibawa ke UGD rs terdekat namun ditolak karena tidak mampu menangani, akhirnya kami dibawa lagi ke barat melewati tempat kejadian itu menuju rumah sakit Ngudi Waluyo Wlingi. Di perjalanan ayah meminta saya untuk menghubungi saudara, siapa saja untuk datang ke rs, sayang di hp saya hanya ada nomor keponakan jauh sekaligus tetangga saya yang kuliah di Malang. Akhirnya saya menghubunginya (dek Lian) dan meminta tolong untuk menelponkan ayahnya untuk ke rs Wlingi. 

Sesampainya di rs, kami langsung dimasukkan IGD namun masih di luar karena ruang IGD sudah penuh pasien lain yang juga mengalami cedera kecelakaan. Mas Nanang (saya memanggil ayah dek Lian demikian) waktu itu sudah sampai duluan di rumah sakit dan beliau langsung kebingungan melihat saya dan bapak yang mengerang kesakitan tanpa mendapat penanganan medis. Mas Nanang juga dibuat panik oleh polisi yang memintanya untuk mengurus beberapa hal penting. Jadi waktu itu di IGD, ayah saya mengeluh kesakitan luar biasa karena kaki kanannya berdarah dan hanya diperban saja lalu ditinggal perawat dan dokter, sementara saya mengeluh kesakitan luar biasa di daerah abdomen kanan dan punggung bawah. Beberapa saat kemudian orang-orang mulai datang, mulai dari bulek saya hingga tetangga-tetangga. Semuanya berkumpul disitu. Kami masih kesakitan. Ayah sangat putus asa karena sakit yang luar biasa dan tidak segera ditangani. Menurut hasil rontgen, ayah mengalami patah di tulang paha, kaki, dan pergelangan tangan, sementara saya tidak mengalami patah tulang, hanya kuku jari manis kanan yang mengelupas. Penanganan medis untuk ayah adalah perban dan anti tetanus, sementara saya hanya suntikan antibiotik. 

Menjelang siang, saudara-saudara dari Singosari, Malang, Blitar, serta tetangga-tetangga semuanya berdatangan menjenguk kami, begitupun pada sore hari hingga malamnya. Hari itu adalah hari yang sangat panjang bagi saya dan bapak, hari yang memilukan.